In Action

KOKIKATUR

Disclaimer : Jika gambar ini terdapat kemiripan suku, agama, ideologi bahkan kesamaan kelamin. Silakan ditertawakan saja.

KPK in Action

KPK in Action
Ketua KPK dan Kokiktur di markas Slank, Gg. Potlot. 16/4/08

Prabukoki - Slank - KPK

Prabukoki - Slank - KPK
The show must go on. Go... go... go...!

08 Juli 2007

Ijinkan Kucium Keningmu

Hei Zev. Dan seluruh pecinta KCM Community.

Ini cerita waktu pertama kali dalam hidupku mencium pacarku. Seorang gadis, adik kelas yang duduk di kelas satu. Di sekolah yg sama, SLTA.

Di antara semua indera yg menempel di wajah, jika aku suka pada seorang gadis, aku selalu akan mencium keningnya. Dulu, pacar2ku akan mabok jika kubilang, “ijinkan kucium keningmu”. Maka ia akan menyorongkan kepalanya, lalu kukecup, cuppp! Tak lebih.

Sungguh. Aku hanya berani mencium pacar2ku cuma di kening.. Tak ada nyali untuk turun 10 cm sekalipun. Juga tak tega untuk mengatakan, “Bolehkah kukecup jidatmu”? Wah, bisa ditempeleng! Gak romantis bo!

Kening or jidat, meski sama2 sodara kembar dan berfungsi sebagai sasaran “tembak”, pemakaiannya kudu disesuaikan dengan profesi penuturnya.

Seperti yg pernah kami alami di jaman Orba. Diskusi buku yg kami selenggarakan di tempat kost, sempat digerebek aparat. Lalu seorang intel menggertak, “Bubarkan rapat. Atau peluru ini akan menembus jidatmu!” Begitulah bahasa tentara. To the point. Tegas tidak melo.

Juga saat mengatakan orang “mati”. Tentara tak mengatakan “meninggal dunia”. Cobalah dengar teriakan komandannya saat menyerbu sarang teroris, “Serbuuuu… HIDUP atau MATI”!!” Coba tanya Marinelife, apa reaksi prajurit jika kata “mati” itu diganti “meninggal dunia”?

Eh, kembali kecerita cium kening pacar. Secara anatomis, kening letaknya sangat strategis. Sama seperti mata, hidung, mulut, telinga atau pipi. Di bagian depan batok kepala ini, kening akan berkolaborasi membentuk komposisi yg indah. Dan jika kita memberikan apresiasi dengan referensi kelamin, maka kolaborasi tsb akan menampakkan wajah wanita cantik atau lelaki tampan.

Namun dari semua indera yg nempel di wajah, ternyata kening merupakan kasta tertinggi. Gak percaya?!

Cobalah tempelkan ujung jari kita ke pacar, lalu dorong kebelakang. Pasti sang pacar mencak2. Marah dan bisa2 kira di pegat. Juga tengoklah kebiasaan aneh para ibu yg selalu menempelkan punggung telapak tangan ke kening anaknya untuk memastikan apakah si anak sakit atau panas badannya. Lalu lihatlah tindakan paramedis. Ia akan mengompres kening untuk menurunkan demam pasien. (Atau dokter Kintel punya cara lain?)

Nah, ini yg seru. Pasti si cantik Zevi atau pembaca lainnya akan menempelkan telunjuk jarinya menyilang dikeningnya untuk menjustmen Prabu sbg wong edan, gokil, sinting. (Kenapa meledek orang sinting kok gak menyilangkan jari telunjuk nempel di dengkul?)

Kening berada di posisi teratas dari susunan anggota tubuh, rupanya memiliki misteri tersendiri. Tuhan memang punya maksud estetika dengan menaruh kening di kepala. Lihatlah lagak Suhu Besar saat sedang berpikir mencoba menemukan ide tulisan. Pasti ia memegangi keningnya dan bukan perutnya.

Dilain waktu saat kita melakukan ibadah sholat, kening yg kita agung2kan akan kita sejajarkan dengan telapak kaki yg kastanya paling rendah! Dalam posisi sujud seperti ini, mulut kita bisa nyrocos minta pertobatan. Berurai air mata, hingga tercapai kekhusyu’an doa yg menusuk hati.

Jadi kening ditaruh diatas, sesungguhnya tak hanya berfungsi sebagai pendaratan kecupan dan sandaran telunjuk ketika berpikir, atau mengolok2 orang sinting. Ada fungsi lain yg lebih hakiki. Memakai jidat untuk bersujud guna merontokkan kesombongan yg ada di badan kita.

Hmm… sayang tidak semua orang bisa dan mau melakukannya.

Nama Panggilan, Pop atau Komersial

Hei Zev. Ini cerita soal nama panggilan tokoh2 terkenal di negeri ini.

Saat krismon menerjang pemerintahan Orba. Seorang kawan mencoba peruntungan dengan mebuat kaos oblong bersablon uang Rp.50.000,-

Namun setelah jadi, kami sempat mendapat masalah. Diinterogasi sejumlah intel Orba. Kesalahan kami ternyata menulis ejaan yg salah, yaitu menulis ‘Suharto’ di desain kaos tsb. Padahal ejaan yg benar, adalah ‘Soeharto’ seperti poster presiden yg banyak di jumpai di instansi2 pemerintah saat itu.

Gara2 kelupaan huruf ‘E”, nginep dah kita di hotel prodeo.Padahal sesuai falsafah Jawa, ‘su’ itu artinya baik. Harto itu harta. Jadi kalau namanya ‘Suharto’ berarti harta yg baik. Mestinya gak ada masalah ya.

Di jaman itu pula, media harus menulis lengkap nama presidennya: Bapak Presiden Soeharto. Atau harus lengkap diucapkan; “Presiden RI Bapak Jenderal Soeharto, waktu di persilakan”, kata reporter TVRI jadul. Wah lebih seru lagi jika yg ngomong seorang menteri penerangan, “menurut bapak petunjuk, presiden…”. Saking kesalnya dengan kekuasaan Soeharto, waktu itu ada seorang bayi yg diberi nama “Gempur Suharto”. Akibatnya sang dokter tidak berani menandatangani akte kelahirannya.

Beda sama presiden era reformasi. Media dan rakyat memperoleh eforia. Hingga memanggil presidennya cukup Gus Dur. Atau malah Gus saja. Terserah yang penting presidennya gak protes. “Gitu saja kok repot”.

Cuma persoalannya kenapa dipanggil Gus Dur. Bukan Gus Ab. Atau Gus Hid. Kalau digotak-gatuk, memang yg paling enak didengar vokalnya adalah dengan menyebut ‘gusdur’. Vokal ‘gushid’, bisa salah interpretasi dengan gushiding, pemain bola dr Belanda. Dipanggil “Gusrah’, dikuping soyo pekak. Bisa di artikan ‘gusrah-gusruh’. Yo Wis, paling pas menyebut Gus Dur. Tanpa embel2 ‘bapak’. Sebab ‘Gus” itu sejatinya panggilan kehormatan untuk sang senior dikomunitas santri.

Gus Dur kesandung dana Bulog, lengser. Megawati menggantikannya. Dan ramailah media menulis sebutan Mbak Mega untuk menyapa sang Presiden baru. Bangga juga kita punya presiden perempuan. Dan toleran lagi, meski (agak) pendiam. Secara vocal memang enak saat memangil Presiden perempuan itu dengan teriakan, “Hidup Mega, Hidup Mega”, meski tanpa mbak atau ibu sekalipun. Nuansanya heroic. Gitu loh…

Coba bayangkan jika yg jadi presidennya namanya ‘Rukmini’, dan sok jaim lagi. Kan gak lucu jika rakyat menyambutnya dengan pekik, “Hidup Bu Ruk, Hidup Bu Ruk” atau mau dipanggil dgn embel2 ‘mbak; “Hidup mbak Mi, hidup mbak Mi”. Wah kan tambah repot jika tkg bakmi pada datang semua. Siapa yg bayarin?

Reformasi memang ikut menjungkir balikkan tata-krama dalam menyapa Presidennya. Hingga kini, rakyat dan media menyapa presidennya cukup hanya inisialnya saja. Sebetulnya penyebutan insial itu juga bukan kemauan rakyat. Tapi presidennya sendiri yg mempopulerkannya. Atau tepatnya yang mengkomersialkannya.

Ditangan tim sukses calon capres-cawapres diperkenalkan ke konsumen ibarat mempromosikan sampo atau sabun mandi. Bagaimana agar produk baru itu cepat popular dan laku di pasar. Maka dibikinlah ‘merk’ SBY-JK yang ternyata laris manis tanjung kimpul, artinya presiden kepilih sumbangan ngumpul.

Barang yg laris selalu mendapat pengekor. Maka disaat musim pilkada, banyak calon pemimpin berpura-pura akrab dengan rakyat. Dalam situasi demikian dimaklumkan bagi rakyat untuk menyapa calon pemimpinnya dengan sebutan ‘bang’. Macam Bang Yos, Bang Foke dan Bang Mat, Oneng dst. Memang keren dan cukup komersial sebagai dagangan pilkada DKI. Betawi banggettt gito loh…

Dikalangan Kokier, juga telah terkontaminasi inisial. Satu alasan yg pasti, yg setuju memakai inisial, biar ngetiknya cepet. Soal inisial tak masalah jika namanya memakai dua suku kata. Lha kalo cuma satu kata macam ‘Lembayung” kan repot. Atau mau sok akrab lalu cukup menyapanya ‘Lem’! Seperti nama Zeverina, cukup disapa Zev. (tapi kalo dipikir2 enak menyebut ‘zev’ ya dibanding ‘lem’. (biarlah kita tunggu saja dari yg punya nama. Sukanya dipanggil apa?)

Tapi sesungguhnya orang tua itu juga aneh. Susah payah memberi nama anaknya bak selebrits hollywood, eh si anak cuma dipanggil ‘Ndut’, karena lucu dan gendut kale ya. Atau cukup dipanggil ‘Tut”. Waktu kecil seh happy2 aja ia dipanggil begitu. Namun menjelang remaja ia akan disapa ‘mbaktut’. Dan dewasa kan gak lucu jika dipanggil ‘butut’.

Lalu bagaimana dengan nama ‘joko’. Dalam falsafah jawa artinya anak lelaki. Namun lebih berkonotasi sebagai jejaka (lelaki yg belum married). Jadi meskipun yg namanya joko itu sudah kawin 25 tahun, ia tetap jejaka. Hehehe.. betul gak pak Djoko? Lalu bangaimana memanggil Ki Ageng? Seorang kokier pernah menyebut Pak Ki Ageng. Tapi aku akan menyebutnya Kintel Asem. Itu akronim dari Ki (Intel) Ageng Semilikihi. Intel itu profesi barunya lho.

Setiap orang memang punya nama panggilan kesayangan. Macam Enonk. Meskipun nama pemberian ortunya bagus.

Maka soal nama, aku tidak sepakat dengan Shakespeare maupun Mantan Presiden Soeharto yg suka memaksa mengubah nama orang keturunan. What is name? Bagiku nama adalah monument jatidiri yg tak tergantikan.

Ah, disudahin aja ceritanya. Jempol dan driji ini sdh kapalen. Thanks Rin. Eh Zevi.