In Action

KOKIKATUR

Disclaimer : Jika gambar ini terdapat kemiripan suku, agama, ideologi bahkan kesamaan kelamin. Silakan ditertawakan saja.

KPK in Action

KPK in Action
Ketua KPK dan Kokiktur di markas Slank, Gg. Potlot. 16/4/08

Prabukoki - Slank - KPK

Prabukoki - Slank - KPK
The show must go on. Go... go... go...!

07 November 2007

Konglomerasi atau Degradasi Profesi

Pidato Kebiasaan

Istilah konglomerat amat populer pada awal tahun 90an, untuk mengidentifikasi sebuah perusahaan dengan jaringan berbagai bidang usaha yang seakan-akan bonafit. Namun pada kenyataannya kropos dilanda krismon 1998.

Nyaris satu dasawarsa ini saya mengamati telah terjadi konglomerasi profesi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun secara kelembagaan.

Secara perorangan telah dilakukan para selebritis yang berprofesi artis dengan berjualan baju sampai makanan (membuka warung). Sedangkan secara lembaga telah dilakukan oleh perusahaan rokok terbesar yang sekarang membuka warung klontong dengan berpura-pura diwaralabakan.

Fenomena demikian sungguh memunculkan tanda tanya BESAR? Gelombang diferivikasi profesi yang dilakukan para artis tersebut, apakah dikarenakan merasa terancam profesinya sama SBY atau karena mental aji mumpung? Biarlah lembaga survey Indonesia yang bicara. Bukanlah sejak reformasi, lembaga survey merupakan bisnis yg paling laris dan paling cepat balik modal? Hanya di Indonesia, setiap bulan kita menyelenggarakan pemilu. Dari mulai ketua RT, lurah, bupati, gubernur, DPR, DPD hingga Presiden! Negara2 donor dan Bank Dunia, jelas tersenyum gembira. Indonesia selalu minta nambah utang hanya untuk berKENDURI DEMOKRASI. Alias membuat pesta perkawinan buat orang yang itu2 saja!!! Hai rakyat kenapa kalian BODOH!!! Dari segi biaya atau ongkos sosial, bukankah itu lebih buruk dari pada orba. Maka tidak heran jika orde reformasi ini rakyat mesti memikul hutang semakin berlipat-lipat. Gaji yg di dapat selalu habis di tanggal empat.

Pembaca tercinta di jagat maya.

Akibat konglomerasi profesi (menurut pakar disebut verifikasi usaha?)adalah hilanganya kesempatan mencari income bagi orang-orang yang memiliki bakat dan keahlian tunggal.

Pertanyaannya, jika seorang artis juga membuka warung nasi, kemana orang yang benar-benar berprofesi sebagai bakul nasi dapat berusaha? Lalu jika sebuah perusahaan rokok global membuka warung klontong, sudah pasti banyak pedagang sembako tradisional bangkrut. Dan jika seorang Presiden bikin rekaman lagu2 komersial, masihkah terdapat tempat bagi seniman mandapatkan upah? Beginilah nasib seniman, selalu dipermainkan. Jika SBY boleh rekaman lalu berjualan lagu, mestinya seniman juga dibolehkan melaksanakan tugas2 Presiden, meski itu hanya sementara waktu.

Menyimak fenomena demikian, ternyata bangsa ini telah melakukan peran dengan jungkir balik. Akrobatik. Persis macam semua profesi para akrobat, entah itu pilot hingga tukang sulap. Cuma bedanya, jika mereka para akrobat profesional, nah yang ini para pemimpin berakrobat cuma buat iseng dan kenikmatan semata. Padahal bagi seseorang yang tidak profesional mencoba melakukan hal2 yang bukan bidang keahliannya, RESIKONYA BESAR.

Konglomerasi profesi jika hal demikian menjadi kebiasaan, akan bermetafor menjadi degradasi profesi. Artinya banyak orang yang memperoleh income namun tidak sesuai dengan level intelektualnya.

Seorang dokter sukses menjadi pedagang sabun cuci tanpa susah payah membuka praktek kedokterannya. Seorang lulusan S2 filsafat sukses menjadi pengusaha ojek, seorang intelektual S3 menjadi kaya raya karena rajin membuat tulisan. Padahal yg bangsa butuhkan adalah pencerahan, bukan intelektual yang tiba2 gemar menjadi PENGRAJIN TULISAN yg laris mendatangkan uang. Sama seperti pengrajin, ia selalu membuat BARANG YANG SAMA meskipun sekilas beda. Lihatlah dengan buatan SENIMAN, ia selalu mencipta KARYA YANG BEDA, bahkan secara esensi. Itulah yg membedakan Van Gohg, Affandi sama pengrajin lukisan di Ubud atau di Bantul. Meski sama2 bertema pemandangan alam, orang awampun merasa lukisan seniman beneran terasa memiliki jiwa/roh dibanding pengrajin lukisan.


Apakah macam itu mental orang pintar? Akan terus melacur? Jika hal demikian diteruskan, sungguh lingkungan kita menjadi lingkungan sosial yang tidak bermutu. Materialistis, serakah, tidak tau malu, pemarah, korup dan tak bermoral.

Bagaimana solusinya?
Maaf, solusi ini sudah saya praktekkan sehari-hari. Menurut saya alangkah mulianya jika kita bertitel S1 tolong jangan menjadi supir taxi lebih2 office boy. Berikanlah profesi itu kepada mereka yang tidak mampu. Baik tidak mampu secara ekonomi maupun tidak mampu memfungsikan otak kiri (orang pintar selalu menggunakan otak kiri). Cuma disayangkan, akhir-akhir ini ORANG PINTAR sering MASUK ANGIN. Coba dengarkan kata iklan, "Orang pintar selalu minum jamu tolak angin", kata doktor ekonomi Rizald Kenali

Untuk para selebritis, tolong upgrade acting Anda agar bisa go internasional. Sebab kalau sdh nggak laku jangan sampai jualan gado2 apalagi jualan ganja (amit2 deh). Kasihan tetangga Yu Ginem yang sudah dari sononya jualan pecel dan gado2. Untuk para pensiunan -- baik direktur jenderal, presiden yg kena impact maupun yg dipaksa mundur beneran -- boleh membuka biro konsultan , asal bukan membekingin preman. Hindarilah berdagang. Apalagi dagang senjata selundupan.

Para pembaca tercinta di jagat maya. Jika hal2 demikian tidak menjadi kesadaran, tapi justru menjadi kebiasaan, sungguh betapa hinanya harga diri bangsa. Tak punya kepribadian, pengecut, licik. Menjadi bangsa yang demen mlengos dalam pergaulan internasional.

Para KoKier yang budiman, saya yakin dalam forum ini harapan kita semua tidak ada yang mengalami degradasi profesi. Sekalipun profesi itu membuatnya kaya raya.

Saya akhiri saja Pidato Kebiasaan ini, sebelum orang-orang pintar terserang sakit kepala.

Terima kasih Anda telah membaca teks pidato ini. Jika ada kasalahan, Anda boleh betulkan, jika Ada kebenaran tolong disebarkan.
Wassalam.