In Action

KOKIKATUR

Disclaimer : Jika gambar ini terdapat kemiripan suku, agama, ideologi bahkan kesamaan kelamin. Silakan ditertawakan saja.

KPK in Action

KPK in Action
Ketua KPK dan Kokiktur di markas Slank, Gg. Potlot. 16/4/08

Prabukoki - Slank - KPK

Prabukoki - Slank - KPK
The show must go on. Go... go... go...!

07 November 2007

Konglomerasi atau Degradasi Profesi

Pidato Kebiasaan

Istilah konglomerat amat populer pada awal tahun 90an, untuk mengidentifikasi sebuah perusahaan dengan jaringan berbagai bidang usaha yang seakan-akan bonafit. Namun pada kenyataannya kropos dilanda krismon 1998.

Nyaris satu dasawarsa ini saya mengamati telah terjadi konglomerasi profesi, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun secara kelembagaan.

Secara perorangan telah dilakukan para selebritis yang berprofesi artis dengan berjualan baju sampai makanan (membuka warung). Sedangkan secara lembaga telah dilakukan oleh perusahaan rokok terbesar yang sekarang membuka warung klontong dengan berpura-pura diwaralabakan.

Fenomena demikian sungguh memunculkan tanda tanya BESAR? Gelombang diferivikasi profesi yang dilakukan para artis tersebut, apakah dikarenakan merasa terancam profesinya sama SBY atau karena mental aji mumpung? Biarlah lembaga survey Indonesia yang bicara. Bukanlah sejak reformasi, lembaga survey merupakan bisnis yg paling laris dan paling cepat balik modal? Hanya di Indonesia, setiap bulan kita menyelenggarakan pemilu. Dari mulai ketua RT, lurah, bupati, gubernur, DPR, DPD hingga Presiden! Negara2 donor dan Bank Dunia, jelas tersenyum gembira. Indonesia selalu minta nambah utang hanya untuk berKENDURI DEMOKRASI. Alias membuat pesta perkawinan buat orang yang itu2 saja!!! Hai rakyat kenapa kalian BODOH!!! Dari segi biaya atau ongkos sosial, bukankah itu lebih buruk dari pada orba. Maka tidak heran jika orde reformasi ini rakyat mesti memikul hutang semakin berlipat-lipat. Gaji yg di dapat selalu habis di tanggal empat.

Pembaca tercinta di jagat maya.

Akibat konglomerasi profesi (menurut pakar disebut verifikasi usaha?)adalah hilanganya kesempatan mencari income bagi orang-orang yang memiliki bakat dan keahlian tunggal.

Pertanyaannya, jika seorang artis juga membuka warung nasi, kemana orang yang benar-benar berprofesi sebagai bakul nasi dapat berusaha? Lalu jika sebuah perusahaan rokok global membuka warung klontong, sudah pasti banyak pedagang sembako tradisional bangkrut. Dan jika seorang Presiden bikin rekaman lagu2 komersial, masihkah terdapat tempat bagi seniman mandapatkan upah? Beginilah nasib seniman, selalu dipermainkan. Jika SBY boleh rekaman lalu berjualan lagu, mestinya seniman juga dibolehkan melaksanakan tugas2 Presiden, meski itu hanya sementara waktu.

Menyimak fenomena demikian, ternyata bangsa ini telah melakukan peran dengan jungkir balik. Akrobatik. Persis macam semua profesi para akrobat, entah itu pilot hingga tukang sulap. Cuma bedanya, jika mereka para akrobat profesional, nah yang ini para pemimpin berakrobat cuma buat iseng dan kenikmatan semata. Padahal bagi seseorang yang tidak profesional mencoba melakukan hal2 yang bukan bidang keahliannya, RESIKONYA BESAR.

Konglomerasi profesi jika hal demikian menjadi kebiasaan, akan bermetafor menjadi degradasi profesi. Artinya banyak orang yang memperoleh income namun tidak sesuai dengan level intelektualnya.

Seorang dokter sukses menjadi pedagang sabun cuci tanpa susah payah membuka praktek kedokterannya. Seorang lulusan S2 filsafat sukses menjadi pengusaha ojek, seorang intelektual S3 menjadi kaya raya karena rajin membuat tulisan. Padahal yg bangsa butuhkan adalah pencerahan, bukan intelektual yang tiba2 gemar menjadi PENGRAJIN TULISAN yg laris mendatangkan uang. Sama seperti pengrajin, ia selalu membuat BARANG YANG SAMA meskipun sekilas beda. Lihatlah dengan buatan SENIMAN, ia selalu mencipta KARYA YANG BEDA, bahkan secara esensi. Itulah yg membedakan Van Gohg, Affandi sama pengrajin lukisan di Ubud atau di Bantul. Meski sama2 bertema pemandangan alam, orang awampun merasa lukisan seniman beneran terasa memiliki jiwa/roh dibanding pengrajin lukisan.


Apakah macam itu mental orang pintar? Akan terus melacur? Jika hal demikian diteruskan, sungguh lingkungan kita menjadi lingkungan sosial yang tidak bermutu. Materialistis, serakah, tidak tau malu, pemarah, korup dan tak bermoral.

Bagaimana solusinya?
Maaf, solusi ini sudah saya praktekkan sehari-hari. Menurut saya alangkah mulianya jika kita bertitel S1 tolong jangan menjadi supir taxi lebih2 office boy. Berikanlah profesi itu kepada mereka yang tidak mampu. Baik tidak mampu secara ekonomi maupun tidak mampu memfungsikan otak kiri (orang pintar selalu menggunakan otak kiri). Cuma disayangkan, akhir-akhir ini ORANG PINTAR sering MASUK ANGIN. Coba dengarkan kata iklan, "Orang pintar selalu minum jamu tolak angin", kata doktor ekonomi Rizald Kenali

Untuk para selebritis, tolong upgrade acting Anda agar bisa go internasional. Sebab kalau sdh nggak laku jangan sampai jualan gado2 apalagi jualan ganja (amit2 deh). Kasihan tetangga Yu Ginem yang sudah dari sononya jualan pecel dan gado2. Untuk para pensiunan -- baik direktur jenderal, presiden yg kena impact maupun yg dipaksa mundur beneran -- boleh membuka biro konsultan , asal bukan membekingin preman. Hindarilah berdagang. Apalagi dagang senjata selundupan.

Para pembaca tercinta di jagat maya. Jika hal2 demikian tidak menjadi kesadaran, tapi justru menjadi kebiasaan, sungguh betapa hinanya harga diri bangsa. Tak punya kepribadian, pengecut, licik. Menjadi bangsa yang demen mlengos dalam pergaulan internasional.

Para KoKier yang budiman, saya yakin dalam forum ini harapan kita semua tidak ada yang mengalami degradasi profesi. Sekalipun profesi itu membuatnya kaya raya.

Saya akhiri saja Pidato Kebiasaan ini, sebelum orang-orang pintar terserang sakit kepala.

Terima kasih Anda telah membaca teks pidato ini. Jika ada kasalahan, Anda boleh betulkan, jika Ada kebenaran tolong disebarkan.
Wassalam.

29 Agustus 2007

Jika Anggota Dewan Berobat ke Dukun

Ce`se, kamsya, thankyou very much. Matur nuwun. Arigato haik.. Wokeh…. Memenuhi permintaan pecinta koki di seluruh dunia.

Sebagai anggota DPR (Dasar Prabu Reseh, tulis FRD-Maryland), minggu lalu aku mengunjungi dukun modern. (meski profilku modern aku tetap menyukai klenik). Disamping mau nanya tentang prospekku di pemilu 2009 nanti, sekalian untuk mengobati engkel lenganku yg keseleo akibat main golf.

Dukunku ini sebetulnya bertitel Doktor (Sertifikat UCLA dibingkai dgn manis didindingnya), dengan penampilan mirip Ki Jaka Bodong. Namun juga sangat fashionable ala Dedy Corbuser. Dengan style seperti itu maka ia sangat bangga jika dipanggil Oom doktor ilisionisthipnosiskuntilanak. Sebagai dokter eh dukun modern propertinya bukan berupa keris dan kemenyan, melainkan sebuah laptop dan seperangkat mesin printer dgn speck 1001 al in 1. Aku namai demikian karena memang hyper canggih; bisa memfoto benda dari 2D hingga 6D, maupun mendeteksi tentang kentut yg telah dipaparkan scr ilmiah oleh seleb koki tempo hari.

Sampai di ruang prakteknya, sampel urineku yg ada di botol kecil (preparat) kumasukan ke lubang mesin yg mirip ATM di bank. Lalu kulihat Oom Ilisionistku berkomat-kamit di depan laptopnya dan semenit kemudian keluar prinout dengan diagnosa: “Kurangi main golf. Jika mau sembuh istirahat 3 minggu”. Busyet, Hebat pisan euy, komentarku.

Pengalaman ini lalu kuceritakan ke sejawatku (anggota DPR). Dasar typikal angota dpr yg maunya borongan agar bisa menghemat anggaran, maka dikumpulkanlah sejumlah urine dari 549 anggota (yg satu kan udah tadi). Dengan mobil dewan, aku dan sejawat meluncur ke padepokan Aa, eh Oom doktor. Sampai di ruang prakteknya, sample urine kumasukkan ke mesin, dan semenit kemudian printout keluar dgn diagnosa: “Segera percepat pemilu 2009, jika Indonesia ingin makmur. Sebab 549 Angota DPR ini telah terkena wabah Budeg, Tuli, Buta, Korup, Hilang urat malunya, Terkontaminasi HIV, raja singa, suka artis mesum.....

(Zev..tuoloooong ! kertas struknya masih terus keluar dari mesin, panjang buaaanget nih... penyakitnya mengerikan...... help me, for reading......)

Ikut Sidang Komisi

Buat Zev n pecinta Koki di seluruh dunia.
Benar apa yg ditulis Josh di koki, laptop bagi wakil rakyat itu manfaatnya lebih besar dp mudaratnya. Cuma persoalannya, seperti di ungkap pakar telematika di negeri ini Roy Martin eh Suryo, apakah para angota itu dapat mengoperasikan dengan optimal laptopnya?

Kemarin aku ikut sidang komisi di DPR. Beginilah nasib kalau memiliki banyak kawan dari berbagai kalangan, banyak menguntungkan dan dapat langsung membuktikan apa yg dikuatirkan para pengamat umumnya. Meskipun jabatanku cuma kacungnya seorang anggota DPR, tapi jgn salah, aku bisa duduk disini dan merasa tehormat..he..he (nih, dengerin sapaan khas pimpinan sidang: “para anggota sidang yg terhormat...”).

Nah, para anggota legislatif ini kan keren2 dgn pantalon dan dasi, jadi akan jatuh kredibilitasnya jika menjinjing laptop (ntar dikirain NGO eropa). Maka jika kemarin tugasku membawa 4 ponselnya, kini tugasku bertambah dengan menjinjing laptop dan mini printer. Meskipun kacung, aku bangga dan berusaha menyelesaikan tugasku dgn sempurna (sesuai nasehat eyang WES).

Sampai di dalam ruang sidang, maka aku taruh laptop dan mni printer di meja. Setelah kurasa semua property milik juraganku yg anggota DPR itu tertata rapi, aku persilakan beliau untuk menempati kursinya.

Eh, disela-sela sidang keonaran terjadi. My boss teriak2 marah: “Dasar laptop idiot The Malaysian people is bullshit!” Aku yg duduk disampingnya kaget , merasa malu dan takut jika naruh laptopnya kurang memuaskan.

Aku bertanya pelan: “Maaf. Ada apa bapak kok marah2?” Namun justru ia berkata setengah berteriak: “Your job is good.. Cuma ini laptop bloon banget, masa setiap mau ngeprint selalu muncul “`Can’t Find Printer”, padahal kan sudah ada disampingnya!!!”
:-(

19 Agustus 2007

Kartun, Cartoon n Karikatur Samimawon

Hai Zev dan pecinta (dulu pembaca) Community Kompas di jagad maya.

Kalo boleh dibilang dalam sejarah Koki, gambar kartun “17-an di Republic Koki’, merupakan edisi perdana sekaligus terobosan baru bagi Kolom Kita yg dimoderatori si cantik Zeverina.

Kartun edisi perdana yg di isi oleh seleb2 Koki macam JC yg berlari sambil teriak “Hoyee … Meldeka!!”, juga Mbah MD yg jawara satu balap karung, lalu mbak Rin yg glayutan di atas batang pinang, serta Ayung yg terjerembab, ternyata diluar dugaan si creator, mendapat sambutan yg meriah! Padahal, si creatornya sendiri cukup debar2 saat ngirim kartun tsb ke inbox moderator. Kenapa?

Pertama, jika dimuat, si creator takut ditimpuin oleh warga Koki yg cerdas dan kritis ini. Kedua, jika tak dimuat, si creator kawatir ibu Moderator bisa kram perutnya karena nyawang (menikmati) kartun tsb sorangan wae! Nah, kan ga lucu, wuakakakkk di kamar sendirian!

Tapi sudahlah, semua dugaanku meleset!

Namun ada sejumlah catatan kecil, atas karikaturku yg telah dimuat dalam dua edisi berturut-turut. Catatan yg terpenting adalah, ternyata para selebritas koki yg diparodikan tak alergi. Mereka dengan hati girang mengucapkan terimakasih khusus lewat sms. Wah …plong rasanya dadaku! Bayanganku, sejujurnya, mereka pasti akan somasi. Atau paling sedikit protes keras (nimpuk) di Koko. Lalu ibu Moderator uring2an bagai dapat buah simalakama!!! Wah kan sedih (lage) si Prabu.

Padahal bikin sepotong karya karikatur adalah sama susahnya dengan seorang dosen menulis paper 10 halaman! Atau dalam dunia jurnalistik, sepotong karikatur sama harganya dengan tulisan opini yg dikirim oleh nara sumber yg kredibel. Artinya, karya karikatur tak lagi hanya sbg subordinasi (pelengkap penderita) artikel/tulisan. Contoh yg baik tentang hal ini adalah koran ‘Kompas “ dgn karikatur Om Pasikom. Salut buat bos, yg telah menghargai sepotong “gambar” sdh sejak lebih 35 tahun lalu. Meskipun dgn perjalanan yg tak gampang, mengalami ‘panas dingin’ saat zaman Orba.

Maksud lain dalam tulisan ini, Prabu mo ngucapin terima kasih kpd semua yg telah “membuang” waktunya hanya untuk komen gambar-kartunku. Juga bagi yg tidak komenpun, Prabu tetap komat-kamit smoga tidak ngalami kram perut. Nah, bagi yg mo orderpun, dengan senang hati diterima. Cuma, Prabu nih punya penyakit keturunan; “kadang mood kadang ilang”. Yg sdh pesan satu tahun lalupun, hinga hari ini belum di bikin. Hmm… jadi yg punya niat order, juga mesti super tabah, hehehe …

Akhirnya, Prabu mo ngutip pesan Mbah, “Bangsa yg besar adalah bangsa yg mampu mentertawakan dirinya sendiri”.

08 Juli 2007

Ijinkan Kucium Keningmu

Hei Zev. Dan seluruh pecinta KCM Community.

Ini cerita waktu pertama kali dalam hidupku mencium pacarku. Seorang gadis, adik kelas yang duduk di kelas satu. Di sekolah yg sama, SLTA.

Di antara semua indera yg menempel di wajah, jika aku suka pada seorang gadis, aku selalu akan mencium keningnya. Dulu, pacar2ku akan mabok jika kubilang, “ijinkan kucium keningmu”. Maka ia akan menyorongkan kepalanya, lalu kukecup, cuppp! Tak lebih.

Sungguh. Aku hanya berani mencium pacar2ku cuma di kening.. Tak ada nyali untuk turun 10 cm sekalipun. Juga tak tega untuk mengatakan, “Bolehkah kukecup jidatmu”? Wah, bisa ditempeleng! Gak romantis bo!

Kening or jidat, meski sama2 sodara kembar dan berfungsi sebagai sasaran “tembak”, pemakaiannya kudu disesuaikan dengan profesi penuturnya.

Seperti yg pernah kami alami di jaman Orba. Diskusi buku yg kami selenggarakan di tempat kost, sempat digerebek aparat. Lalu seorang intel menggertak, “Bubarkan rapat. Atau peluru ini akan menembus jidatmu!” Begitulah bahasa tentara. To the point. Tegas tidak melo.

Juga saat mengatakan orang “mati”. Tentara tak mengatakan “meninggal dunia”. Cobalah dengar teriakan komandannya saat menyerbu sarang teroris, “Serbuuuu… HIDUP atau MATI”!!” Coba tanya Marinelife, apa reaksi prajurit jika kata “mati” itu diganti “meninggal dunia”?

Eh, kembali kecerita cium kening pacar. Secara anatomis, kening letaknya sangat strategis. Sama seperti mata, hidung, mulut, telinga atau pipi. Di bagian depan batok kepala ini, kening akan berkolaborasi membentuk komposisi yg indah. Dan jika kita memberikan apresiasi dengan referensi kelamin, maka kolaborasi tsb akan menampakkan wajah wanita cantik atau lelaki tampan.

Namun dari semua indera yg nempel di wajah, ternyata kening merupakan kasta tertinggi. Gak percaya?!

Cobalah tempelkan ujung jari kita ke pacar, lalu dorong kebelakang. Pasti sang pacar mencak2. Marah dan bisa2 kira di pegat. Juga tengoklah kebiasaan aneh para ibu yg selalu menempelkan punggung telapak tangan ke kening anaknya untuk memastikan apakah si anak sakit atau panas badannya. Lalu lihatlah tindakan paramedis. Ia akan mengompres kening untuk menurunkan demam pasien. (Atau dokter Kintel punya cara lain?)

Nah, ini yg seru. Pasti si cantik Zevi atau pembaca lainnya akan menempelkan telunjuk jarinya menyilang dikeningnya untuk menjustmen Prabu sbg wong edan, gokil, sinting. (Kenapa meledek orang sinting kok gak menyilangkan jari telunjuk nempel di dengkul?)

Kening berada di posisi teratas dari susunan anggota tubuh, rupanya memiliki misteri tersendiri. Tuhan memang punya maksud estetika dengan menaruh kening di kepala. Lihatlah lagak Suhu Besar saat sedang berpikir mencoba menemukan ide tulisan. Pasti ia memegangi keningnya dan bukan perutnya.

Dilain waktu saat kita melakukan ibadah sholat, kening yg kita agung2kan akan kita sejajarkan dengan telapak kaki yg kastanya paling rendah! Dalam posisi sujud seperti ini, mulut kita bisa nyrocos minta pertobatan. Berurai air mata, hingga tercapai kekhusyu’an doa yg menusuk hati.

Jadi kening ditaruh diatas, sesungguhnya tak hanya berfungsi sebagai pendaratan kecupan dan sandaran telunjuk ketika berpikir, atau mengolok2 orang sinting. Ada fungsi lain yg lebih hakiki. Memakai jidat untuk bersujud guna merontokkan kesombongan yg ada di badan kita.

Hmm… sayang tidak semua orang bisa dan mau melakukannya.

Nama Panggilan, Pop atau Komersial

Hei Zev. Ini cerita soal nama panggilan tokoh2 terkenal di negeri ini.

Saat krismon menerjang pemerintahan Orba. Seorang kawan mencoba peruntungan dengan mebuat kaos oblong bersablon uang Rp.50.000,-

Namun setelah jadi, kami sempat mendapat masalah. Diinterogasi sejumlah intel Orba. Kesalahan kami ternyata menulis ejaan yg salah, yaitu menulis ‘Suharto’ di desain kaos tsb. Padahal ejaan yg benar, adalah ‘Soeharto’ seperti poster presiden yg banyak di jumpai di instansi2 pemerintah saat itu.

Gara2 kelupaan huruf ‘E”, nginep dah kita di hotel prodeo.Padahal sesuai falsafah Jawa, ‘su’ itu artinya baik. Harto itu harta. Jadi kalau namanya ‘Suharto’ berarti harta yg baik. Mestinya gak ada masalah ya.

Di jaman itu pula, media harus menulis lengkap nama presidennya: Bapak Presiden Soeharto. Atau harus lengkap diucapkan; “Presiden RI Bapak Jenderal Soeharto, waktu di persilakan”, kata reporter TVRI jadul. Wah lebih seru lagi jika yg ngomong seorang menteri penerangan, “menurut bapak petunjuk, presiden…”. Saking kesalnya dengan kekuasaan Soeharto, waktu itu ada seorang bayi yg diberi nama “Gempur Suharto”. Akibatnya sang dokter tidak berani menandatangani akte kelahirannya.

Beda sama presiden era reformasi. Media dan rakyat memperoleh eforia. Hingga memanggil presidennya cukup Gus Dur. Atau malah Gus saja. Terserah yang penting presidennya gak protes. “Gitu saja kok repot”.

Cuma persoalannya kenapa dipanggil Gus Dur. Bukan Gus Ab. Atau Gus Hid. Kalau digotak-gatuk, memang yg paling enak didengar vokalnya adalah dengan menyebut ‘gusdur’. Vokal ‘gushid’, bisa salah interpretasi dengan gushiding, pemain bola dr Belanda. Dipanggil “Gusrah’, dikuping soyo pekak. Bisa di artikan ‘gusrah-gusruh’. Yo Wis, paling pas menyebut Gus Dur. Tanpa embel2 ‘bapak’. Sebab ‘Gus” itu sejatinya panggilan kehormatan untuk sang senior dikomunitas santri.

Gus Dur kesandung dana Bulog, lengser. Megawati menggantikannya. Dan ramailah media menulis sebutan Mbak Mega untuk menyapa sang Presiden baru. Bangga juga kita punya presiden perempuan. Dan toleran lagi, meski (agak) pendiam. Secara vocal memang enak saat memangil Presiden perempuan itu dengan teriakan, “Hidup Mega, Hidup Mega”, meski tanpa mbak atau ibu sekalipun. Nuansanya heroic. Gitu loh…

Coba bayangkan jika yg jadi presidennya namanya ‘Rukmini’, dan sok jaim lagi. Kan gak lucu jika rakyat menyambutnya dengan pekik, “Hidup Bu Ruk, Hidup Bu Ruk” atau mau dipanggil dgn embel2 ‘mbak; “Hidup mbak Mi, hidup mbak Mi”. Wah kan tambah repot jika tkg bakmi pada datang semua. Siapa yg bayarin?

Reformasi memang ikut menjungkir balikkan tata-krama dalam menyapa Presidennya. Hingga kini, rakyat dan media menyapa presidennya cukup hanya inisialnya saja. Sebetulnya penyebutan insial itu juga bukan kemauan rakyat. Tapi presidennya sendiri yg mempopulerkannya. Atau tepatnya yang mengkomersialkannya.

Ditangan tim sukses calon capres-cawapres diperkenalkan ke konsumen ibarat mempromosikan sampo atau sabun mandi. Bagaimana agar produk baru itu cepat popular dan laku di pasar. Maka dibikinlah ‘merk’ SBY-JK yang ternyata laris manis tanjung kimpul, artinya presiden kepilih sumbangan ngumpul.

Barang yg laris selalu mendapat pengekor. Maka disaat musim pilkada, banyak calon pemimpin berpura-pura akrab dengan rakyat. Dalam situasi demikian dimaklumkan bagi rakyat untuk menyapa calon pemimpinnya dengan sebutan ‘bang’. Macam Bang Yos, Bang Foke dan Bang Mat, Oneng dst. Memang keren dan cukup komersial sebagai dagangan pilkada DKI. Betawi banggettt gito loh…

Dikalangan Kokier, juga telah terkontaminasi inisial. Satu alasan yg pasti, yg setuju memakai inisial, biar ngetiknya cepet. Soal inisial tak masalah jika namanya memakai dua suku kata. Lha kalo cuma satu kata macam ‘Lembayung” kan repot. Atau mau sok akrab lalu cukup menyapanya ‘Lem’! Seperti nama Zeverina, cukup disapa Zev. (tapi kalo dipikir2 enak menyebut ‘zev’ ya dibanding ‘lem’. (biarlah kita tunggu saja dari yg punya nama. Sukanya dipanggil apa?)

Tapi sesungguhnya orang tua itu juga aneh. Susah payah memberi nama anaknya bak selebrits hollywood, eh si anak cuma dipanggil ‘Ndut’, karena lucu dan gendut kale ya. Atau cukup dipanggil ‘Tut”. Waktu kecil seh happy2 aja ia dipanggil begitu. Namun menjelang remaja ia akan disapa ‘mbaktut’. Dan dewasa kan gak lucu jika dipanggil ‘butut’.

Lalu bagaimana dengan nama ‘joko’. Dalam falsafah jawa artinya anak lelaki. Namun lebih berkonotasi sebagai jejaka (lelaki yg belum married). Jadi meskipun yg namanya joko itu sudah kawin 25 tahun, ia tetap jejaka. Hehehe.. betul gak pak Djoko? Lalu bangaimana memanggil Ki Ageng? Seorang kokier pernah menyebut Pak Ki Ageng. Tapi aku akan menyebutnya Kintel Asem. Itu akronim dari Ki (Intel) Ageng Semilikihi. Intel itu profesi barunya lho.

Setiap orang memang punya nama panggilan kesayangan. Macam Enonk. Meskipun nama pemberian ortunya bagus.

Maka soal nama, aku tidak sepakat dengan Shakespeare maupun Mantan Presiden Soeharto yg suka memaksa mengubah nama orang keturunan. What is name? Bagiku nama adalah monument jatidiri yg tak tergantikan.

Ah, disudahin aja ceritanya. Jempol dan driji ini sdh kapalen. Thanks Rin. Eh Zevi.