Prabu
Siluet tugu Monas yang biasanya mengekspresikan aura estetika, sore itu tak bisa kunikmati lagi. Hujan deras yang seharian mengguyur Ibu Kota, telah membuat buram semua gedung, serta menimbulkan genangan air dijalanan. Untung hari itu aku pergi bersama sopir. Jadi acuh dengan suasana banjir di jalan protocol itu. Dengan mata setengah melek, kubenamkan tubuhku di jok belakang yang empuk bagai bakpau. Mobil yang kami tumpangi terjebak di kepadatan lalu-lintas di perempatan depan Istana Merdeka. Ditengah suara air hujan, tiba-tiba HPku berdering.
“Selamat sore. Bisa bicara sama pak Prabu?” suara di ujung tilpun mernyapa.
“Ya. Saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?”
“Saya, Dino…”
Oh, rupanya dari pak Dino Sidin, bisik hatiku. Tapi sebelum pikiranku mengembara untuk mengingat komentar khas yang dilontarkan Pak Dino Sidin di acara Gemar Menggambar di TVRI dulu, pria yang menelpon itu melanjutkan, “… Dino Patijalal”.
“Hah! Matek aku. Eh, maaf, maksudnya..., Bapak ini benar dari Juru Bicara Presiden. Tangan kanan Bapak SBY? ”, jawabku terbata-bata mendengar ia memperkenalkan dirinya. Terus terang siapa sih orang yang nggak kaget dapat tilpun dari orang penting istana. Dapat melihat orang penting atau selebritis dari jarak seratus meter saja, hati ini berdesir. Lah, koq sekarang tiba-tiba dapat tilpunnya. Apakah ini kerjaan orang iseng?
“Betul. Tapi saya bukan tangan kanan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang benar, saya adalah Juru Bicara Presiden Bidang Luar Negeri. Maaf, pak Prabu. Berhubung pembicaraan ini lewat tilpun, saya to the point saja. Apakah Anda bersedia mengabdi demi bangsa dan NKRI?” suara pak Dino Patijalal ini mantab dan tegas.
“Oh, saya tersanjung menjadi orang yang dipilih. Tapi maaf pak. Kalau boleh saya tahu, siapa yang mereferensikan bapak? Bukankah saya cuma seorang seniman KoKikatur di Koki? Rasanya kapasitas saya masih jauh dari GM Sudarta…”
Jelas, pertanyaan2 tersebut perlu kulontarkan. Karena aku tak ingin mendapat malu sampai mati konyol atau menjadi korbannya astuti alias dari orang yang “aslinya tukang tipu”. Pikiran boleh girang mendapat berita bagus. Tapi hati tetap melihat. Dan kesadaran perlu dijaga.
“Pak Prabu. Soal siapa yang merekomendasikan tak perlu saya sebut. Yang jelas nama Anda beserta sejumlah nama-nama budayawan masuk dalam list yang kami buat. Jejak-jejak tulisan dan karya-karya Anda selalu kami pantau. Kami punya file karya-karya Anda. Dari mulai Republik Hantu, kemudian karikatur Bapak Presiden yang Anda gambarkan seolah-olah bapak Presiden tak punya hati nurani, ditengah bencana gempa dan meluapnya lumpur di Porong, justru beliau membuat rekaman lagu. Juga karikatur tentang banjir di Jakarta yang mengkarikaturkan Gubernur DKI, bapak Fauzi Bowo, yang ahli bikin janji, hingga yang terakhir soal PLN yang melakukan pemadaman bergilir di Bali dan Jawa”.
Buzzz…! Jantungku terasa berhenti berdetak. Sejenak, aku terpaku diam. Pikiranku melayang dan ingat Thomas Nast, seorang kartunis politik yang paling berpengaruh di Amerika di pertengahan abad 18. Thomas Nast berhasil menjatuhkan jaringan Boss Tweed dan mesin politik koruptor di New York Tammany Hall dengan karikaturnya. Apakah nasibku akan mengikuti dia. Presiden SBY merekrutku untuk melawan koruptor? Suara diujung tilpun itu, bagaimanapun bukan kerjaan kawan yang iseng. Lalu aku menyimak semakin antusias.
“Pak Prabu. Anda dan juga rakyat Indonesia ini kan tahu. Jika tahun ini pemerintah mencanangkan Visit Indonesia. Dan pemerintah memahami, mempromosikan Indonesia itu bukan perkara mudah. Meskipun pak Jarwo Kecik, jauh- jauh hari sudah mensosialisasikan agar segenap komponen bangsa ini turut aktif mendukung Visit Indonesia. Tapi dalam prakteknya, pemerintah tetap mendapat hantaman kanan-kiri. Kritik yang destruktif dilancarkan penuh ofensif”.
“Lalu, apa yang bisa saya bantu pak. Bukankah saya cuma seorang seniman?”, jawabku mencoba merendahkan pekerjaanku, sekaligus memancing pengetahuannya tentang diriku.
“Anda jangan mencoba merendahkan diri. Bapak Presiden adalah orang yang berwawasan luas. Tentang karikatur, saya paham meskipun tidak mendalam. Seperti di ungkap Jean Romnicianu, yang mengemukakan bahwa seni kartun dan karikatur adalah seni yang sulit, kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat. Maka dengan pemahaman demikian, setelah kami konsultasikan dengan bapak Presiden, ternyata beliau sependapat. Setelah mengadakan investigasi tentang profil Anda, justru nama Anda terangkat naik di peringkat tiga dari yang sebelumnya berada di urutan 99. Padahal untuk menjadi sebuah tim work yang baik, dan agar dapat berkontribusi dengan optimal dalam membantu Presiden, kami membutuhkan minimal enam tenaga ahli. Kelompok yang akan kami rekrut ini, nantinya akan dibuat lembaga semacam dewan pertimbangan presiden, yang tugas pokoknya, menerjemahkan program-program pemerintah ke dalam bahasa gambar. Yang dampaknya, saya kira akan membuat ciut nyali birokrat untuk melakukan tindak korupsi…”
“Ah, bapak Dino bukan ber-can-da… kan?”, sergahku mencoba serius. Meskipun kurasakan kalimatku ini kuucapkan dengan bergetar melawan nervous. Rasa curiga berkecamuk dalam otakku. Apakah pemerintahan SBY hanya akan memenjarakanku ataukah membreidel Koki yang selalu memuat karya-karyaku. Sungguh kita tak menginginkan nasib Koki sebagai citizen journalism ini akan sama dengan majalah La Caricature. Dimana pemiliknya tepaksa keluar masuk penjara karena melawan pemerintah Louis-Philippe. Dan akibat terburuknya, sebuah regulasi yang mengatur kebebasan pers disahkan yang kemudian melarang pemuatan karikatur politik di berbagai media.
“Saya paham, jika pak Prabu perlu curiga terhadap saya. Cuma Anda mesti tahu. Sejak Indonesia di pimpin Habibi, Gus Dur, dan Megawati, Indonesia masih mendapat citra buruk di luar negeri. Maka pemerintahan bapak Presiden SBY, dengan sekuat tenaga dan komitmen tinggi melakukan langkah2 pembersihan di birokrasi. Kalau mau jujur, hanya dalam pemerintahan Bapak Presiden SBY, banyak koruptor di penjara. Pembersihan ini jelas membuat sebuah departemen atau lembaga setingkat dirjen sedikit goyang. Pemerintahan saat ini menginginkan darah segar dari anak2 muda macam Anda. Kritis, segar, ilmiah; Memiliki komitmen yang dalam tentang kesejahteraan Indonesia; Berani mengorbankan diri dan tidak memperkaya diri sendiri…”
“Bapak terlampau menilai kami hanya dari sudut positif saja”, sergahku.
“Saya bisa bicara begini karena saya tahu, bahwa para kontributor Koki itu sesungguhnya memiliki moral yang dalam dan komitmen yang tinggi terhadap kemajuan Indonesia. Mereka menulis tanpa pamrih. Tulisan-tulisan mereka di nikmati oleh negara-negara lain. OK! Sekedar info. Sebulan lalu saya mendapat tilpun dari tim sukses Obama. Mereka tilpun ke Istana untuk mengucapkan terima kasih atas karikatur Obama yang digendong Oprah Winfrey muncul di Koki. Sejak karikatur itu muncul, simpati warga Amerika yg memilih Obama bertambah…”, ujarnya.
Ia melanjutkan, “Nah, kekuatan karikatur semacam inilah yang dilirik oleh bapak Presiden. Momentum Visit Indonesia ini, jelas sangat signifikan dengan kapasitas Anda. Prestasi2 yang telah di capai dalam pemerintahan yang dipimpin bapak Presiden SBY, apa salahnya kalau di komunikasikan dan di promosikan ke luar negeri dengan karikatur: bahasa gambar. Sesungguhnya, tidak hanya orang Indonesia saja yang memahami bahasa gambar. Menurut penelitian antropologis yang dilakukan oleh universitas2 ternama, pada dasarnya manusia itu lebih cepat tertarik dengan bahasa symbol dari pada kalimat yang panjang-panjang. Bangsa itu dinamis. Sebuah negara dengan bangsa yang multi budaya, perlu disatukan oleh symbol yang kuat…”
“Ya. Saya paham pak. Cuma kalau nanti dibentuk semacam dewan, lalu posisi saya sebagai apa?”
“Anda tak perlu repot-repot. Sebab saya nantinya yang akan menjadi “lurahnya”, jika dewan ini terbentuk. Dan pak Andi beserta pak Silalahi, kemungkinan akan menduduki pos baru. Saya maklum, pemilu yang sudah dekat ini kan membutuhkan tim sukses yang handal. Dan sejak dini kita harus pandai2 menyiasati. Kalau Megawati maupun Sutiyoso yang bukan presiden saja bisa bersafari politik ke daerah2 seluruh Indonesia., masak bapak SBY yang presiden tidak bisa…”
“OK. Pak. Kalau begitu saya siap. Demi bangsa dan kesejahteraan NKRI. Saya bersedia mengabdi dan bergabung dengan pemerintahan bapak SBY.”
“Terima kasih atas kesediaan pak Prabu. Malam ini juga daftar tim work akan kami olah dan fixed. Kemudian lusanya dalam sidang terbatas akan kami laporkan ke bapak Presiden. Tapi kalau boleh saya berterus terang…”
“Ya. Silakan pak.”
“Saya pribadi merasa senang dapat berbicara langsung dengan Anda. Saya juga mengharap Anda tidak merayakan berita ini. Apalagi ada orang diluar kita yang mendengarnya. Tolong jaga baik-baik pembicaraan ini. Hingga keputusan final diambil Bapak Presiden. OK! Pak Prabu, nanti saya akan tilpun Anda kembali”.
“Tidak masalah pak. Saya juga mengucapkan terima kasih mendalam… “
“Brakkkkkkkkkkkk…!!!!”, terdengar suara benturan. Dalam detik itu juga, aku terjatuh dari jok yang empuk. Dengan tergagap-gagap aku mencoba duduk kembali. Kepala terasa pusing. Ditengah datangnya kesadaran, aku mendengar sayup2 sopirku di omelin supir metromini. Dengan reflek aku meraba-raba saku mencari HPku. Ditengah hujan dan kemacetan yang belum juga terurai. Aku tilpun istriku di rumah, “Yayang, barusan aku mimpi ditilpun oleh Jubir Presiden.”
Istriku lalu menjawab, “Walaahhh, mas massss. Panjenengan itu kebiasaan. Kalau jalan macet mbok jangan suka tidur. Lebih baik wiridan. Ngaca dong, mas. Mana ada tukang gambar yang doyan ngritik pemerintah dikasih jabatan? Istigfar….. Istigfar.”
Bagus juga saran istriku. Lalu kuperintahkan supirku, berbelok kanan. Melewati jalan depan Istana yang lenggang. Terus ke kiri. Lalu masuk halaman mesjid Istiqlal. Kuambil air wudhlu, guna melakukan sholat Magrib yang nyaris kutinggalkan, hanya karena mimpi ditilpun jubir Presiden. Aya-aya wae…buuuuuuuu…!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Kutipan: "Pikiran boleh girang mendapat berita bagus. Tapi hati tetap melihat. Dan kesadaran perlu dijaga."
Cuma sayang ... siRamaC "kesadarannya" belum CUxxx ;)
Posting Komentar